Popular posts from this blog
Review Film KERAMAT 2: CARUBAN LARANG
Keramat 2: Caruban Larang adalah horor Indonesia yang paling berhasil mengolah lokasi sejak... well, Keramat pertama 13 tahun lalu. Karakternya tidak menghadapi sosok hantu tertentu, melainkan tempat penuh makhluk gaib. Bukan pertarungan yang bisa mereka menangkan. Bagaimana bisa mengalahkan sebuah tempat? Itulah kenapa filmnya amat mencekam. Kita tidak diajak menyaksikan perjuangan melenyapkan hantu atau mencabut kutukan, tapi upaya bertahan hidup yang diisi ketidakberdayaan serta keputusasaan. Sudah 13 tahun berlalu sejak lompatan pocong yang pelan-pelan mendekati kamera menghadirkan mimpi buruk bagi penonton. Subgenre found footage tak lagi seefektif dulu, terlebih ketika konten serupa sudah jadi makanan rutin baik di YouTube maupun televisi. Monty Tiwa sadar betul akan fenomena tersebut. Sadar bahwa repetisi takkan melahirkan efek magis yang sama. Realisme film pertama pun dikesampingkan. Ditemani Sergius Sutanto dan Azzam (manusia sinting di balik lahirnya horor-horor pen
Review Film Holy Spider
Holy Spider bukan (cuma) film soal pembunuh berantai. Secara langsung, hilangnya nyawa para korban memang disebabkan oleh satu individu, tapi pokok permasalahannya mengakar jauh lebih dalam. Perwakilan Denmark di ajang Academy Awards tahun 2023 ini menyoroti persoalan sistem serta masyarakat. Masyarakat adalah pembunuh berantai sesungguhnya. Filmnya mempertemukan fiksi dengan realita. Pembunuhan berantai yang menjadikan PSK sebagai target memang terjadi tahun 2000-2001 di Mashad, Iran. Tercatat 16 nyawa melayang. Pelakunya bernama Saeed (Mehdi Bajestani), dan karena modus operandinya, di mana ia memancing korban ke "sarangnya" sebelum mencekik mereka, kasusnya kerap disebut " spider killings ". Sentuhan fiksi berasal dari keterlibatan Arezoo Rahimi (Zar Amir Ebrahimi) jurnalis yang menyambangi Mashad guna meliput kasus tersebut. Tapi liputan bukanlah tujuan akhir Rahimi. Dia pun terdorong untuk melakukan investigasi, mencari kebenaran mengenai identitas si pelaku.
Review Film - No Bears
Pada 11 Juli 2022, sekitar dua bulan selepas No Bears menyelesaikan fase produksi, juga dua bulan sebelum filmnya diputar secara perdana di Venice International Film Festival, sang sutradara, Jafar Panahi, ditangkap lalu dijatuhi hukuman enam tahun penjara. Bukan kali pertama ia mengalami itu. Masih teringat jelas ketika This Is Not a Film (2011) disembunyikan dalam kue ulang tahun agar bisa diputar di Cannes Film Festival. No Bears masih meninggalkan jejak-jejak khas Panahi. Sentilan terhadap pemegang otoritas, hingga pembauran fiksi dengan realita. Tapi jika biasanya Panahi masih mencari cahaya harapan, No Bears berbeda. Kita melihat sang maestro yang lebih sesak, lebih jengah, lebih marah, juga lebih tidak berdaya. Panahi seperti berada di ambang kesabaran, namun meyakini bahwa perlawanan apa pun yang ia beri takkan membawa hasil. Panahi memerankan versi fiktif dirinya, yakni sutradara yang mendapat larangan membuat film di Iran. Dia tak kehilangan akal. Panahi menyewa ru