Review Film Sri Asih



 Alpha male dengan toxic masculinity, polisi korup, pengusaha bergelimang harta yang terang-terangan membenci rakyat jelata, semua itu jadi lawan Sri Asih. Terkesan kurang subtil dalam melempar kritik? Mungkin. Apalagi di skena film superhero sekarang, antagonis dengan kompleksitas yang bisa memecah simpati penonton adalah primadona. Tapi di sisi lain, figur-figur di atas memang sampah masyarakat yang jadi musuh bersama, sehingga tidak sulit bagi kita berdiri di belakang Sri Asih sambil berkata, "Ini pahlawan kami!". 

Filmnya mengetengahkan Alana (Pevita Pearce). Dia lahir di tengah letusan gunung Merapi yang menewaskan kedua orang tuanya, sebelum diadopsi oleh Sarita (Jenny Chang), yang mengajarinya teknik bertarung. Ketangguhan Alana menarik perhatian Mateo (Randy Pangalila), putera Prayogo Adinegara (Surya Saputra) si pengusaha korup. 

Mateo menantang Alana berduel di atas ring, yang tersaji meyakinkan berkat Pevita dan Randy (ingat, dia atlet MMA di kehidupan nyata), sekaligus jadi awal terseretnya protagonis kita ke dalam intrik rumit yang telah berlangsung entah berapa lama. Pertemuan dengan Eyang Mariani (Christine Hakim) dan sang cucu, Kala (Dimas Anggara), membawa Alana menyadari takdirnya sebagai titisan Dewi Asih yang mesti melindungi dunia dari ancaman Dewi Api (Dian Sastrowardoyo). 

Penceritaan Sri Asih memang agak terbata-bata. Pacing-nya inkonsisten. Kadang berlarut-larut hingga menyelipkan peristiwa yang tak perlu, namun sebaliknya, tidak jarang pergerakan antar momen terasa buru-buru. Tapi perihal mitologi lain cerita. Naskah buatan Upi dan Joko Anwar mampu menggaet atensi. Disampaikan oleh Eyang Mariani, kita diajak menyelami mitologi yang menyiratkan masa depan ambisius Jagat Bumilangit. Sulit untuk tak bersemangat menantikan kelanjutannya.

Ceritanya kembali meluas kala memperkenalkan Jatmiko (Reza Rahadian), polisi yang mulai jengah dikontrol oleh Prayogo, juga Tangguh (Jefri Nichol), wartawan idealis sekaligus teman masa kecil Alana. Syukurlah tiada subplot romansa segitiga antara Alana, Tangguh, dan Kala. Dunia Sri Asih sudah cukup penuh serta sarat kekisruhan untuk memberi ruang pada benih-benih asmara. 

Bangunan dunianya menyimpan plus minus. Kekacauan sistem politik dan hukum, penindasan oleh si kaya, sampai kemiskinan yang mengakar, membuat Sri Asih benar-benar terasa eksis di dunia yang sama dengan Gundala (2019). Dampak negatifnya, karena kesamaan nuansa industrial, kita lagi-lagi banyak disuguhi momen penting berlatarkan pabrik. Unggul di konsistensi, namun lemah dalam hal variasi. 

Repetisi latar tersebut untungnya bukan masalah besar tatkala Upi mampu merangkai sekuen aksi dengan baik (keunggulan terbesar Sri Asih dibanding Gundala). Camerawork-nya sesekali tampak canggung, tapi keberhasilan memanfaatkan kualitas olah tubuh Pevita, gaya bertarung unik Sri Asih yang bersenjatakan selendang, juga kualitas CGI mumpuni (penundaan jadwal rilisnya terbayar lunas), menutupi kelemahan tersebut. Terutama di klimaks.

Klimaks Sri Asih membuat segala kekurangan filmnya patut dimaafkan. Klimaks ini wajib jadi patokan bagi blockbuster superhero Indonesia yang segera membanjiri layar bioskop kita di tahun-tahun mendatang. Seru, megah (shot Dewi Api muncul di belakang si antagonis itu luar biasa), dengan porsi yang tepat. Tidak berakhir prematur, tidak juga terasa diulur-ulur. 

Dua figur yang saling beradu pun jadi kunci kesuksesan klimaksnya. Pevita dengan senyum bak jagoan yang menikmati pertempuran (mengingatkan ke penampilan ikonik Gal Gadot di Batman v Superman: Dawn of Justice), bertemu antagonis yang berkarakter berkat kepiawaian sang pemeran. Meski lubang di naskah membuat beberapa detail mengenai si antagonis mengundang pertanyaan. 

Sri Asih masih meninggalkan setumpuk pekerjaan rumah bagi Jagat Bumilangit untuk dibenahi di installment berikutnya. Tapi ia jelas film superhero terbaik kita, setidaknya untuk saat ini. Karya yang pantas dibanggakan, tentang seorang jagoan yang juga layak dipuja sebagai pahlawan.

Comments

Popular posts from this blog

Review Film Holy Spider

Review Film KERAMAT 2: CARUBAN LARANG

Review Film - Potret Mimpi Buruk