Review Film One Piece Film : RED
One Piece Film: Red punya segala kelebihan serta kekurangan "film anime" yang berstatus non-kanon. Para penggemar akan menyukainya. Tertawa, menangis, bersorak, bahkan bertepuk tangan seperti di studio tempat saya menonton. Bagaimana dengan orang awam yang masih asing dengan One Piece dalam medium apa pun? Entahlah. Tapi ini adalah film layar lebar kelima belas, dan sampai tulisan ini dibuat, versi manga telah merilis 1060 chapter, sedangkan anime ada di episode 1033. Anda yang salah kalau memulai perjalanan mengenali One Piece dari sini.
Ditangani oleh Gorō Taniguchi yang menandai debutnya menyutradarai film One Piece, Red bisa disebut sebagai "konser raksasa". Pertama, karena bentuknya mendekati musikal. A vibrant one. Taniguchi merangkai kemeriahan visual guna mengiringi lagu-lagu beraneka genre yang dibawakan oleh Ado. Pop, rock, metal, semua ada. Where the Wind Blows yang emosional jadi favorit saya. Chorus-nya menusuk.
Kedua, karena ceritanya memang berlatar di sebuah konser. Uta, idola yang tengah naik daun berkat rekaman videonya bernyanyi yang luar biasa (cara cerdik Tsutomu Kuroiwa untuk mengimplementasikan fenomena realita ke semesta One Piece melalui naskahnya), menggelar konser perdana. Semua orang berkumpul, termasuk kelompok bajak laut Topi Jerami.
Di tengah era bajak laut yang menebar ketakutan ke masyarakat, Uta berharap dapat menyebar pesan perdamaian dan memberi kebahagiaan melalui lagunya. Sampai Luffy mengungkap fakta mengejutkan bahwa Uta merupakan puteri Shanks si rambut merah.
Saya akan berhenti membahas alurnya, sebab beberapa kejutan telah filmnya siapkan, baik terkait cerita maupun kemunculan karakter, yang sebaiknya anda tonton sendiri. Tapi di sinilah naskahnya memanfaatkan dengan baik status Red sebagai non-kanon.
Latar "konser global" menjadi alasan masuk akal untuk mengumpulkan sebanyak mungkin karakter dalam satu waktu, dan sebagai non-kanon, deretan karakter itu, termasuk beberapa nama lama, bebas diotak-atik penokohannya. Hasilnya segar, apalagi ketika muncul deretan tandem tak terduga di aksinya.
Tujuan utamanya tentu fan service. Sewaktu banyak jurus karakternya lebih seperti proses "mengisi checklist" dengan dampak minim, adanya kombinasi-kombinasi mengejutkan tersebut membuat sekuen aksinya tampil menggigit. Terlebih di klimaks, tatkala Taniguchi sekali lagi unjuk gigi mengolah visual kaya warna, untuk menemani kombinasi antar karakter yang telah lama dinantikan penggemar.
Momen Shanks turun tangan jelas paling ditunggu. Mungkin itu pula alasan filmnya meraup pendapatan lebih dari dua kali lipat Z (2012), yang sebelumnya jadi film One Piece terlaris, juga menduduki posisi 13 daftar film berpendapatan tertinggi sepanjang masa di Jepang.
Di sinilah batasan suguhan non-kanon mulai nampak. Taniguchi telah berusaha maksimal agar tiap sepak terjang Shanks tampak masif, namun mengingat mustahil bagi Red mendahului manganya, filmnya seolah terbentur garis-garis yang haram dilewati dalam menggambarkan sosok si rambut merah.
Tapi kelemahan sesungguhnya dari Red terletak di hal lebih mendasar, yakni penceritaan. Alurnya bak olahan makanan yang diaduk secara kurang merata. Berantakan, ada bagian yang sedap, tapi ada pula yang hambar. Lalu saat ceritanya bermain-main dengan mitologi mengenai lokasi konser Uta, berbagai inkonsistensi perihal "aturan" soal mitologi tersebut menambah kekacauan alur.
Sebagai film, Red jauh dari sempurna, tapi kembali lagi, sebagai fan service, nyaris tanpa cela. Satu poin yang belum saya singgung tentang fan service-nya, yaitu bagaimana ia bukan asal memenuhi hasrat penggemar, pun mewakili jiwa petualangan One Piece secara menyeluruh.
Entah seperti apa perjalanan Luffy dan kawan-kawan berakhir, tapi saya yakin takkan jauh-jauh dari persatuan berasaskan perdamaian. Deretan karakter dari pihak berlawanan bersedia mengesampingkan perbedaan dalam satu pertarungan, kemudian disusul kredit penutupnya yang hangat, membuat One Piece Film: Red (meski bukan kanon) bagaikan gambaran kecil soal dunia yang diimpikan seorang Eiichiro Oda. Serupa realita, di sini musik juga tak kuasa mengubah dunia, tapi ia bisa menumbuhkan harapan, kebahagiaan, bahkan bisa saja menyelamatkan nyawa.
Comments
Post a Comment