Review Film KERAMAT 2: CARUBAN LARANG
Keramat 2: Caruban Larang adalah horor Indonesia yang paling berhasil mengolah lokasi sejak...well, Keramat pertama 13 tahun lalu. Karakternya tidak menghadapi sosok hantu tertentu, melainkan tempat penuh makhluk gaib. Bukan pertarungan yang bisa mereka menangkan. Bagaimana bisa mengalahkan sebuah tempat?
Itulah kenapa filmnya amat mencekam. Kita tidak diajak menyaksikan perjuangan melenyapkan hantu atau mencabut kutukan, tapi upaya bertahan hidup yang diisi ketidakberdayaan serta keputusasaan.
Sudah 13 tahun berlalu sejak lompatan pocong yang pelan-pelan mendekati kamera menghadirkan mimpi buruk bagi penonton. Subgenre found footage tak lagi seefektif dulu, terlebih ketika konten serupa sudah jadi makanan rutin baik di YouTube maupun televisi. Monty Tiwa sadar betul akan fenomena tersebut. Sadar bahwa repetisi takkan melahirkan efek magis yang sama.
Realisme film pertama pun dikesampingkan. Ditemani Sergius Sutanto dan Azzam (manusia sinting di balik lahirnya horor-horor pendek gila seperti Goyang Kubur Mandi Darah dan Kuntilanak Pecah Ketuban) dalam menulis naskah, Monty bak berkata, "Kalian suka konten penelusuran settingan? Begini cara membuatnya!".
Bahkan beberapa karakternya pun berpforesi sebagai pembuat konten horor bertema penelusuran di YouTube. Keanu (Keanu Angelo) dan Ajil (Ajil Ditto) tengah berusaha membangun ulang kanal mereka sepeninggal "maskot" mereka, Ute (Lutesha) si gadis indigo. Demi konten, keduanya sepakat berangkat ke Cirebon bersama Umay (Umay Shahab), yang ingin membuat dokumenter untuk membantu tugas akhir Arla (Arla Ailani), Jojo (Josephine Firmstone), dan Maura (Maura Gabrielle).
Tugas akhir yang dimaksud melibatkan riset soal penari setempat. Riset itu bukan sebatas tempelan. Tidak seperti mahasiswa peserta KKN yang tidak terlihat melakukan aktivitas KKN, riset yang karakternya lakoni berfungsi membentuk plot. Sumbangsih serupa turut diberikan Ute. Jika mayoritas karakter indigo di horor kita hanya bertugas menunjukkan di mana letak hantu sambil sesekali kesurupan, Ute berbeda. Pemahamannya akan mistisisme, terutama berbagai ritual di dalamnya, memberikan sesuatu untuk penonton ikuti. Dialah "pencerita" di film ini.
Akting Lutesha pun menjauhkan Ute dari keklisean karakter indigo, walau sesekali pelafalan Bahasa Jawa miliknya kurang mulus (she did her best though). Ute tahu yang ia lakukan, menegaskan bahwa indigo bukan semata soal "melihat", pula "memahami". Lutesha menampilkan itu secara meyakinkan, sambil sesekali berkontribusi menciptakan teror melalui transformasinya.
Di kutub berlawanan ada Keanu. Siapa yang tak meragukan keputusan Monty memilihnya? Saya pun menyimpan keraguan besar, dan Keanu membuktikan kalau saya keliru. Kita semua keliru. Di luar peran sebagai penyegar suasana melalui komedi (Keramat 2 adalah "horor murni" terlucu tahun ini), Keanu sukses jadi sosok paling likeable. Dia berbuat kesalahan, tapi tidak bodoh. Selain Ute, dialah tokoh yang benar-benar memedulikan orang lain, meski dengan caranya sendiri.
Tapi mari lupakan perihal karakter dan penceritaan. Biar bagaimanapun, Keramat 2: Caruban Larang adalah horor. Menakut-nakuti jadi tugas utama. Sekali lagi, filmnya mengetengahkan "manusia vs tempat". Berangkat dari situ, Monty mendapat kebebasan melempar variasi teror. Sebutkan hantu lokal yang anda tahu, dan besar kemungkinan film ini memilikinya.
Seperti telah saya sebutkan, Keramat 2: Caruban Larang, khususnya di babak akhir, bagaikan konten penelusuran settingan, hanya saja, dengan skala lebih besar serta kualitas jauh lebih baik. Intensitas yang terjaga rapi, desain hantu mengerikan, kreativitas dalam mengemas penampakan, deretan shot menarik, hingga jump scare yang efektif tanpa dibarengi musik berisik, jadi modal menyuguhkan third act yang enggan melepas cengkeramannya.
Secara cerdik naskahnya pun menjalin koneksi dengan film pertama. Selain sebagai easter eggs, koneksi itu akhirnya turut menekankan rasa tidak berdaya yang menggelayuti perjalanan karakternya. Keramat 2: Caruban Larang mengerikan tidak hanya berkat terornya. Tapi karena kita tahu, karakternya tidak menentukan nasib mereka sendiri. Sekuat apa pun usahanya, menjadi percuma kala semesta tempat mereka menginjakkan kaki tak merestui.
Comments
Post a Comment