Posts

Showing posts from November, 2022

Review Film Holy Spider

Image
Holy Spider  bukan (cuma) film soal pembunuh berantai. Secara langsung, hilangnya nyawa para korban memang disebabkan oleh satu individu, tapi pokok permasalahannya mengakar jauh lebih dalam. Perwakilan Denmark di ajang Academy Awards tahun 2023 ini menyoroti persoalan sistem serta masyarakat. Masyarakat adalah pembunuh berantai sesungguhnya. Filmnya mempertemukan fiksi dengan realita. Pembunuhan berantai yang menjadikan PSK sebagai target memang terjadi tahun 2000-2001 di Mashad, Iran. Tercatat 16 nyawa melayang. Pelakunya bernama Saeed (Mehdi Bajestani), dan karena modus operandinya, di mana ia memancing korban ke "sarangnya" sebelum mencekik mereka, kasusnya kerap disebut " spider killings ".  Sentuhan fiksi berasal dari keterlibatan Arezoo Rahimi (Zar Amir Ebrahimi) jurnalis yang menyambangi Mashad guna meliput kasus tersebut. Tapi liputan bukanlah tujuan akhir Rahimi. Dia pun terdorong untuk melakukan investigasi, mencari kebenaran mengenai identitas si pelaku.

Review Film - Potret Mimpi Buruk

Image
Di tengah malam, Bayu (Cornelio Sunny) melihat gadis bernama Hujan (Salvita Decorte) menangis, duduk meringkuk di samping kandang ayam. Sebelum mendekat, Bayu perlahan menaruh rokok yang tengah ia hisap ke tanah. Tidak ada perokok yang membuang rokoknya dengan cara demikian.  Sinema memiliki bahasanya sendiri. Logika boleh dikesampingkan demi pencapaian estetika, atau simbolisme bila ada. Cara Bayu menaruh rokok tidak menyuntikkan nilai apa pun. Tidak mempercantik adegan, tidak pula membawa pesan. Ismail Basbeth bak hanya ingin memperlambat tempo, sebagaimana yang ia lakukan selama 84 menit  Potret Mimpi Buruk. Slow cinema  yang berusaha terlalu keras menjadi  slow cinema.  Pasca sekuen pembuka  creepy  di mana Hujan, yang dalam kondisi hamil, dikejar oleh sosok wanita berpakaian hitam (namanya pun "Hitam") dengan tawa mengerikan (Annisa Hertami), kita diajak melihat rutinitas dua manusia .  Bayu memberi Hujan tempat tinggal, menyediakan kasur, membelikan makanan juga pakaian

Review Film - Yang Patah Tumbuh Yang Hilang Berganti

Image
Bukan karakternya saja yang jago menari, sebagai film,   Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti  pun menari-nari di perbatasan. Batas antara sinema komersil dan alternatif. Tarian itu sayangnya dilakukan sambil malu-malu dengan gerakan penuh rasa ragu. Berlatar sebuah hotel tradisional di Solo, kita berkenalan dengan sang pemilik, Yasmin (Clara Bernadeth), yang mewarisi tempat itu dari mendiang ibunya. Pamannya, Darto (Donny Damara), setia membantu meski belakangan kondisi fisiknya menurun. Darto ibarat figur ayah bagi Yasmin.  Lalu kejutan datang. Hardiman (Indro Warkop), ayah Yasmin yang telah bertahun-tahun pergi tanpa kabar, mendadak pulang. Kondisinya tidak baik-baik saja akibat gejala alzheimer yang merenggut ingatan Hardiman. Seorang dokter berkunjung untuk memeriksa, kemudian menjelaskan seputar alzheimer. Dia sebutkan bahwa  down syndrome  merupakan salah satu penyebab. Apa perlunya informasi itu di saat Hardiman jelas bukan pemilik  down syndrome ? Mungkin naskahnya menyalin

Review Film - No Bears

Image
  Pada 11 Juli 2022, sekitar dua bulan selepas   No Bears  menyelesaikan fase produksi, juga dua bulan sebelum filmnya diputar secara perdana di Venice International Film Festival, sang sutradara, Jafar Panahi, ditangkap lalu dijatuhi hukuman enam tahun penjara. Bukan kali pertama ia mengalami itu. Masih teringat jelas ketika  This Is Not a Film  (2011) disembunyikan dalam kue ulang tahun agar bisa diputar di Cannes Film Festival.  No Bears  masih meninggalkan jejak-jejak khas Panahi. Sentilan terhadap pemegang otoritas, hingga pembauran fiksi dengan realita. Tapi jika biasanya Panahi masih mencari cahaya harapan,  No Bears  berbeda. Kita melihat sang maestro yang lebih sesak, lebih jengah, lebih marah, juga lebih tidak berdaya. Panahi seperti berada di ambang kesabaran, namun meyakini bahwa perlawanan apa pun yang ia beri takkan membawa hasil. Panahi memerankan versi fiktif dirinya, yakni sutradara yang mendapat larangan membuat film di Iran. Dia tak kehilangan akal. Panahi menyewa ru

Review Film - Decibel

Image
Masalah   Decibel  adalah, sebagai cerita soal teror bom, demi membangun intensitas dan kesan bombastis, ia bergantung pada ledakan bomnya. Sepanjang kurang lebih 110 menit, bom meledak di beberapa titik, dan hampir tiada korban jiwa. Bukan saya mengharapkan nyawa melayang, tapi di mana letak ancamannya?   What's at stake ? Premis  Decibel  sejatinya amat menarik, yakni soal ancaman bom yang dipicu oleh intensitas suara. Bayangkan  Speed  (1994), tapi gantikan kecepatan dengan suara. Apakah ada banyak ledakan di  Speed ? Tidak. Fokusnya adalah upaya karakternya menjinakkan bom. Seberapa dahsyat bom itu, dibiarkan tertinggal di imajinasi penonton.  Sebuah kapal selam Korea Selatan terkena serangan torpedo dan hilang beberapa hari. Hanya separuh kru berhasil diselamatkan, termasuk sang komandan, Kang Do-young (Kim Rae-won). Setahun berselang, muncul penelepon misterius yang mengaku telah memasang "bom suara" di beberapa tempat, dan memaksa Do-young terlibat dalam permainann

Review Film THE FABELMANS

Image
" Movies are dream that you never forget ", ucap Mitzi Fabelman (Michelle Williams) dengan mata berbinar-binar. Apakah pada realitanya kalimat itu juga terlontar dari mulut Leah Adler (ibu Steven Spielberg) dengan cara serupa? Mungkin tidak, tapi itu yang Spielberg rasakan. Bahwa sang ibu mengajarinya keindahan dunia dalam layar perak. Karena sekali lagi, film seperti mimpi. Lebih mudah bagi kita mengingat rasa yang dihasilkan suatu mimpi ketimbang detail peristiwanya.  The Fabelmans  bersifat semi-autobiografi yang terinspirasi dari masa kecil hingga remaja Spielberg. Berawal dari tahun 1952 kala Sammy (Mateo Zoryon Francis-DeFord) dibawa oleh kedua orang tuanya, Mitzi dan Burt (Paul Dano), mengunjungi bioskop untuk pertama kali. Disaksikannya  The Greatest Show on Earth,  dan momen sewaktu mobil Klaus (Lyle Bettger) dihantam oleh kereta api terus menghantuinya.  Di rumah, Sammy coba membuat ulang adegan tersebut menggunakan kereta mainan, kemudian berkat bantuan sang ibu, b

Review Film KERAMAT 2: CARUBAN LARANG

Image
  Keramat 2: Caruban Larang  adalah horor Indonesia yang paling berhasil mengolah lokasi sejak... well, Keramat  pertama 13 tahun lalu. Karakternya tidak menghadapi sosok hantu tertentu, melainkan tempat penuh makhluk gaib. Bukan pertarungan yang bisa mereka menangkan. Bagaimana bisa mengalahkan sebuah tempat?  Itulah kenapa filmnya amat mencekam. Kita tidak diajak menyaksikan perjuangan melenyapkan hantu atau mencabut kutukan, tapi upaya bertahan hidup yang diisi ketidakberdayaan serta keputusasaan.  Sudah 13 tahun berlalu sejak lompatan pocong yang pelan-pelan mendekati kamera menghadirkan mimpi buruk bagi penonton. Subgenre  found footage  tak lagi seefektif dulu, terlebih ketika konten serupa sudah jadi makanan rutin baik di YouTube maupun televisi. Monty Tiwa sadar betul akan fenomena tersebut. Sadar bahwa repetisi takkan melahirkan efek magis yang sama.  Realisme film pertama pun dikesampingkan. Ditemani Sergius Sutanto dan Azzam (manusia sinting di balik lahirnya horor-horor pen

Review Film Tegar

Image
Minum air adalah kegiatan remeh bagi orang "normal". Taruh gelas di dispenser, tekan tombol, lalu minum. Saking gampangnya kita tak perlu menghafal langkah-langkah tersebut. Lain cerita bagi Tegar (M. Aldifi Tegarajasa). Setelah gelas terisi, ia harus mengapit gelas di leher, menaruhnya di atas meja, mengambil kursi untuk menaiki meja, baru meminumnya.  Pemandangan itu bisa tampak memilukan, tapi Anggi Frisca ( Negeri Dongeng, Nona ) selaku sutradara bukan ingin memancing iba. Timbulnya rasa kagum penonton terhadap si protagonis adalah tujuan utama.  Tegar  memang diniati sebagai tontonan inspirasional, namun ia berusaha tampil beda. Setidaknya di paruh pertama.  Menginjak usia 10 tahun, Tegar tidak pernah mengenal dunia luar. Dia hidup dalam sangkar emas berupa rumah mewah di area terpencil. Sang ibu, Wida (Sha Ine Febriyanti) melarang Tegar keluar karena khawatir putera tunggalnya bakal jadi korban cemoohan akibat kondisi fisiknya. Tapi benarkah Wida, yang lebih fokus pada